Skip to main content

Sampai secukup apa?

Ia tak tahu sampai kapan akan selalu merasa tidak cukup untuk hal apapun.

Ia selalu mencemaskan orang lain, hal-hal disekitarnya sampai dadanya sesak dan terkadang terisak di tengah malam. Tapi sebagian dirinya yang lain merasa sama sekali tidak peduli, sampai ia tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan selain diam.
Ia terombang-ambing di perbatasan antara cemas dan tak peduli. Lalu suatu hari pasti ada saatnya ia akan jatuh ke salah satu jurangnya, dan ia tak akan pernah tau akan terjerembab selamanya di jurang yang mana.

Ia merasa semua ini terjadi karena semua rasa cemas yang ia berikan kepada siapapun selalu berakhir sia-sia atau mungkin ia memang tak pernah benar-benar dianggap siapa-siapa.
Ia mungkin memang didesain untuk sendirian karena ketika ia mencoba untuk berlari bersama orang lain yang sedang berlari, mereka justru memilih untuk berhenti. Ia lebih merasa tenang sendirian ketika kepalanya berteriak, "Carilah teman!". Dan ketika ia menemukan mereka, giliran kepala mereka yang berteriak, "Carilah teman lain!".
Dan ketika ia butuh tempat berteduh, sekitarnya mendadak menjadi gurun gersang.

Dan semua ini kerap muncul setiap detik di nafasnya karena ia selalu merasa ia tak pernah cukup baik untuk siapapun, bahkan untuk orangtuanya atau binatang peliharaannya sendiri.
Mungkin ia memang tidak pernah benar-benar membuat orang lain merasa bahagia, ia hanya membuat mereka tersenyum sesaat ketika ia mungkin akan mengenang semuanya sampai air matanya kering.
Mungkin ia hanya hembusan angin, ia hanya membuat mereka sejuk sesaat ketika ia bersusah payah membuat mereka mengingat dirinya selamanya.

Ia benci merasa sendirian, tapi ia selalu menarik diri ke pojok keramaian.
Ia benci dilupakan, tapi ia selalu diam agar orang-orang tak direpotkan dengan mengingatnya.
Ia benci berdiri di belakang, tapi ia tak pernah berani maju duluan.
Ia benci merasa khawatir, tapi ia tak pernah benar-benar berusaha memastikan semuanya baik-baik saja.
Ia benci manusia, tapi ia sendiri manusia.
Kau tahu apa yang ia benci dari manusia? Mereka tak pernah benar-benar menyadari apa yang mereka lakukan. "Mungkin aku bukan manusia," pikirnya, "aku hanya aku. Spesies berbeda yang selalu menyadari hal-hal akan selalu berubah,".

Lalu ada satu titik ketika ia tak akan pernah memedulikan apapun, sama sekali. Ia tak mau tahu tentang apapun. Semua omongan orang lain tentang apapun ia tak pernah peduli. Apa yang bisa ia lakukan, ia terkadang tak melakukannya. Ia terlalu tidak peduli untuk bahkan melirik mata.
Hingga ia kerap kehilangan dirinya sendiri dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri, 'lalu apa yang kau mau?'.

Ia tak pernah suka gagasannya sendiri tentang hal-hal ini, dan ia lebih benci ketika ia sadar ia memang seperti itu;
Ia memang tak pernah cukup baik untuk apapun,
sebab itu semua orang selalu memilih pergi,
dan ia kembali sendirian.

Lalu ia bersumpah pada dirinya sendiri, ia tak mau lagi berurusan dengan hati manusia.

Comments

Popular posts from this blog

persetan dengan senja persetan dengan hujan perasaan datang tak mengenal waktu memori terulang tak mengenal musim kebencian juga datang tak mengenal suasana

Kucing Hitam

"Maaf", gumamnya pada kucing hitam legam kecil kesayangannya yang sekarat karena diserang anjing liar suatu malam. Ia mengelus kepala sang kucing dengan lembut dan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar lalu berkata, "Aku tidak bisa menjagamu dengan baik, lain kali aku akan menjagamu lebih baik. Jangan pergi dulu." Kucingnya bisa saja mati dari tadi, tapi ia masih ada yang mau menjaga . Sampai menangis dan sesak dada orang itu dibuatnya. Padahal ia hanya seekor kucing hitam legam kecil yang bandel. Satu minggu kemudian, walaupun jalannya tidak normal, ia berlarian lincah di halaman rumah. Setiap majikannya pulang, ia jadi yang pertama menyambutnya di pagar rumah.

2015 (Bagian IV : Kawan)

Maaf urutan peristiwa di bagian-bagian 2015 agak berantakan, aku menulis sesuai ingatanku. Dan yang terakhir, aku akan menceritakan kisah pertemananku sepanjang 2015. Yang pertama adalah tentang pertemuan. Di awal 2015, aku mulai les di kursus menggambar khusus persiapan masuk seni rupa dan arsitektur. Nama tempat kursusnya 'SR104'. Lokasi utamanya dekat dengan kampus ganeca ITB di Jalan Ciungwanara tapi dulu sebelum persengketaan memanas ruang belajarnya terletak di suatu gedung sekolah tinggi di Dago dan kami diberi ruang kelas selama 2 jam pas. Sekarang gedung itu sudah kosong melompong. Dan aku jauh lebih suka suasana belajar di Ciungwanara, tempatnya terbilang kecil tapi kami jauh lebih membaur.  Seminggu dua minggu awal les, kami semua saling diam. Ada beberapa yang sering bersuara saat kelas karena mereka satu sekolah. Aku bukan tipe orang yang bisa menyapa orang duluan, jadi satu dua minggu awal aku hanya suka berbicara dengan para pengajar. Lalu ada h