Skip to main content

Hampa (Terima Kasih, Iga Massardi!)

Aku sedang ada diposisi dimana apa yang aku lakukan dirasa hanya untuk mengisi kekosongan.

Saat jam istirahat sekolah, saat selesai mengerjakan tugas dan teman-teman lain belum, menunggu dijemput saat les usai, jeda percakapan bersama teman-teman, dan ketika duduk di toilet. Aku lalu menemukan kekosongan itu. Kekosongan yang akupun tak mengerti.
Aku ingin menulis sesuatu tentang ini, tapi tidak tahu harus apa.
Karena hampa ya hampa. Kosong. Tidak ada. Sepi.

Lalu tadi pagi saat aku membahas kemesraan sang vokalis Barasuara, Iga Massardi, dan istrinya bersama temanku yang mempunyai selera musik yang sangat sama. Hasna namanya.
Ia bilang kalau Iga punya blog dan isinya menarik.
Dan saat ini, jam istirahat pertama di sekolah, aku membuka blog Iga Massardi. Aku membaca beberapa tulisannya hingga aku menemukan satu tulisan bertajuk 'Hampa'.

"Berlagak gila berbuat aneh aneh dan ketika itu merasa bahwa ini adalah pelampiasan rasa, namun di akhir hari nyatanya tak berguna. Hampa
Merasa bahwa tawa dan cinta saat ini adalah jawaban dari pertanyaan kita akan kasih sayang, namun dalam kesendirian kita tidak yakin dan masih bertanya tanya. Hampa"

Seketika perasaan sesak memenuhi dada.

Tapi satu pesan penting yang aku dapatkan di tulisannya, yang kemudian ada hal-hal yang aku sadari penting :
"Kita tidak bisa memenuhi jiwa kita sendiri. Biarkan orang lain yang mengisi kekosongan itu. Dan relakanlah diri ini untuk mengisi kekosongan mereka.
Karena kita semua manusia yang harus berbagi. Sekecil apapun bagilah.
Dengan itu kita akan terisi. Tak akan penuh namun setidaknya tak akan lagi hampa."


Semoga orang-orang yang saya usahakan kebahagiannya bisa merasa bahagia dan mengisi kekosongan ini.

Terima kasih, Iga!
Kemarin waktu Atma Asta, saya dan Hasna menyapamu di barikade ketika Mas Iga menyaksikan penampilan ERK di samping panggung.
Ramah dan penuh inspirasi.
Semoga bahagia selalu.

Comments

Popular posts from this blog

persetan dengan senja persetan dengan hujan perasaan datang tak mengenal waktu memori terulang tak mengenal musim kebencian juga datang tak mengenal suasana

Kucing Hitam

"Maaf", gumamnya pada kucing hitam legam kecil kesayangannya yang sekarat karena diserang anjing liar suatu malam. Ia mengelus kepala sang kucing dengan lembut dan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar lalu berkata, "Aku tidak bisa menjagamu dengan baik, lain kali aku akan menjagamu lebih baik. Jangan pergi dulu." Kucingnya bisa saja mati dari tadi, tapi ia masih ada yang mau menjaga . Sampai menangis dan sesak dada orang itu dibuatnya. Padahal ia hanya seekor kucing hitam legam kecil yang bandel. Satu minggu kemudian, walaupun jalannya tidak normal, ia berlarian lincah di halaman rumah. Setiap majikannya pulang, ia jadi yang pertama menyambutnya di pagar rumah.

2015 (Bagian IV : Kawan)

Maaf urutan peristiwa di bagian-bagian 2015 agak berantakan, aku menulis sesuai ingatanku. Dan yang terakhir, aku akan menceritakan kisah pertemananku sepanjang 2015. Yang pertama adalah tentang pertemuan. Di awal 2015, aku mulai les di kursus menggambar khusus persiapan masuk seni rupa dan arsitektur. Nama tempat kursusnya 'SR104'. Lokasi utamanya dekat dengan kampus ganeca ITB di Jalan Ciungwanara tapi dulu sebelum persengketaan memanas ruang belajarnya terletak di suatu gedung sekolah tinggi di Dago dan kami diberi ruang kelas selama 2 jam pas. Sekarang gedung itu sudah kosong melompong. Dan aku jauh lebih suka suasana belajar di Ciungwanara, tempatnya terbilang kecil tapi kami jauh lebih membaur.  Seminggu dua minggu awal les, kami semua saling diam. Ada beberapa yang sering bersuara saat kelas karena mereka satu sekolah. Aku bukan tipe orang yang bisa menyapa orang duluan, jadi satu dua minggu awal aku hanya suka berbicara dengan para pengajar. Lalu ada h